Perjalanan Menuju Negeri Seribu Darwis
Oleh; Ainur Rohmah Haryono
Belakangan nama Sudan mulai dikenal kalangan pesantren dan akademis,
mengingat Republic of Sudan adalah salah satu destinasi pendidikan di kawasan
timur tengah. Sudan merupakan negara yang unik karena adanya dua kebudayaan
besar yaitu arab dan afrika, terletak di timur laut benua Afrika, dengan jumlah
populasi 42 juta jiwa dan 85% di antaranya beragama Islam.
Merantau ke negeri seribu darwis adalah impianku sejak lama, tapi mengapa
negeri Sudan disebut negeri seribu darwis? Darwis adalah istilah lain dari
zahid, faqir, dan shufi. Pemahaman agama masyarakat sudan bisa dikatakan sangat
mendalam, kesadaran terhadap nilai islam juga tidak kalah mengakar di kalangan
masyarakat awam, hal tersebut terbukti dari banyaknya tempat-tempat sholat
dadakan ketika adzan berkumandang, seperti gang-gang di pasar, terminal, dan
lain-lain.
Awalnya aku hanya bermimpi bisa belajar ke salah satu negeri timur
tengah, hal tersebut dipengaruhi oleh kakak-kakak senior di sekolah yang melanjutkan
studi ke Mesir, Maroko, Sudan, Lebanon, Tunis, dan Yaman. Dan semenjak aku
duduk di bangku kelas 3 Aliyah Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM), Kajen -
Pati aku mulai menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan pendidikan s1 di negera
terpanas se-Afrika. Sudan. Akhirnya aku lulus tanpa syarat pada tahun 2014
dengan hasil yang lumayan, nilai rata-rata 7,9, testing baca qur’an 10, testing
baca kitab sedikit terancam remidi 6,5, daurah bahasa arab mumtaz, dan karya
tulis arab jayyid jiddan. Itulah syarat-syarat kelulusan di sekolahku yang
harus dipenuhi. Karena aku sudah berniat sejak awal ingin belajar ke Sudan maka
aku mulai mengambil langkah-langkah strategis untuk mencapainya.
Pertama, aku mulai mendekati hati orang tuaku untuk mencuri restu.
Ibuku adalah seorang penjahit di pasar dan ayahku seorang petani, bertani
adalah pekerjaan mayoritas masyarakat Demak. Iya, aku lahir dan tumbuh di kecamatan
karang tengah, kabupaten Demak. Demak adalah daerah penghasil beras terbesar di
jawa tengah dan jawa tengah adalah lumbung padi Indonesia. Jadi, aku sangat
bangga dengan pekerjaan ayah yang sangat mulia. Mula- mula ibu dan ayah agak
ragu dengan niat tulusku, tentu saja. Aku anak terakhir dalam keluarga, selama
ini aku selalu bergantung pada kasih sayang orang tuaku dan perhatian mbak, dan
mas-masku. Sedikit demi sedikit aku meyakinkan mereka, aku mulai berdiplomasi
menyampaikan tujuan-tujuanku “Bu’e, nanti kalau Ain jadi belajar ke sudan, Ain
bisa belajar mandiri, bisa latihan hidup lebih tangguh, lho kan kata Bu’e, ragile*
bu’e ini calon pemimpin bangsa to? Insyaallah nanti Ain akan pulang
dengan ilmu yang berkah atas doa keluarga dan para guru, dengan pengalaman yang
banyak, dan keterampilan yang tinggi, Insyaallah bu’.. kulo teseh istiqomah
gadah angen-angen mbangun masyarakat**”.
Yang aku butuhkan pertama adalah restu dan doa orang tuaku, setelah
mendapatkannya aku mulai langkah kedua dengan mendaftarkan diri melalui Lanjnah
Qabul wa tarsyikh di madrasah agar terdaftar sebagai calon mahasiswa timur
tengah tahun 2015. Di madrasah kami kelulusan adalah bulan sya’ban dan tahun
ajaran baru adalah bulan syawal jadi sangat terlambat untuk mendaftarkan diri
di tahun yang sama dengan ijazahku. Dan aku sangat mensyukuri waktu satu
tahunku di kampung halaman. Aku bisa membantu ibu di pasar, sementara ibu
menjahit aku menalayani pelanggan yang membeli benang, kancing, dan peralatan
menjahit lainnya. Aku juga diminta ayah untuk membantunya di sawah untuk
menjemur gabah saat musim padi dan
menanam semangka saat musim palawija. Pengurus madrasah di desa juga meminta
waktuku untuk mengajar anak-anak Madrasah Diniyah pelajaran fashalatan, aku
ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan madin seperti perayaan hari besar,
pengajian umum, perlombaan, dll. Aku jadi lebih dekat dengan masyarakatku yang
sebelumnya aku tinggal mondok di Kajen-Pati selama 8 tahun.
Hingga tibalah saatnya panggilan dari guru PIM untuk menyiapkan
diri berangkat ke Sudan. pelepasan di sekolah digelar, tradisi sowan-sowan ala
pesantren juga aku lakukan demi mendapat do’a dan ridho dari para sesepuh dan
guru-guru PIM. Aku mulai mengunjungi rumah saudara ayah dan ibu, guru ngajiku
waktu kecil, dan guru-guru SD yang sebagian besar sudah pensiun untuk meminta
doa dan berpamitan. Meskipun biaya pendidikan dan tempat tinggal gratis tapi
kami butuh ongkos yang tidak sedikit untuk transportasi dan pengurusan
beasiswa, Ayah menjual gabah kering hingga berkwintal-kwintal untuk membiayai
ongkosku berangkat ke Sudan.
Tes masuk Universitas tidak sesulit yang dibayangkan, semua yang
ditanyakan sudah diajarkan di madrasah dan pesantren, Akhirnya aku masuk
Fakultas Studi Islam di Universitas International Afrika, Khartoum. Tanpa harus
masuk ma’had lughoh untuk belajar bahasa arab fusha.
Ada yang mengatakan “kalau kamu bisa hidup di sudan, maka kamu akan
bisa hidup di mana saja”, perkataan itu aku dengar sebelum keberangkatanku ke
Sudan pada tanggal 29 Agustus 2015, dan kini terhitung hampir 8 bulan aku
berdomisili di Sudan. Tidak tanpa alasan perkataan itu dilontarkan oleh para
senior mahasiswa Sudan, terbukti asam manis pahit kehidupan aku rasakan dan ambil
pelajaran darinya. Salah satu contohnya adalah fakta iklim sudan yang ekstrim,
di musim panas aku pernah merasakan hingga 50 derajat celcius,dan di musim
dingin mencapai 7 derajat celcius. Tentu jauh berbeda dari iklim Indonesia,
bukan?? Meskipun tidak sedingin musim dingin di benua Eropa, akan tetapi musim
dingin di Sudan tidaklah begitu menyenangkan, tanya kenapa? Karena dinginnya di
sini bercampur dengan debu-debu dan terik mentari yang bisa membuat kulit
kering, pecah-pecah, dan kusam. Di situlah kita bisa belajar lebih sabar dan ikhlas untuk tetap bangun pagi dan pergi
kuliah di segala kondisi.
Seperti janjiku pada
ibu bahwa aku akan pulang demi masa depan gemilang, menghilangkan kebodohan
diri sendiri, keluarga dan masyarakat tentu saja. Ujian semester pertama bulan
Januari lalu alhamdulillah aku lalui tanpa hambatan, natijah yang
ditunggu-tunggu keluar tidak terlalu mengecewakan, predikat jayyid jiddan aku
dapatkan dengan penuh rasa syukur meskipun bukan yang terbaik di kelas Dirosat
Islamiyah dan juga bukan yang terbaik di antara teman-teman Indonesia tahun
pertama. Ini adalah titik awal untuk berlari lebih cepat, berusaha lebih giat,
dan tetap semangat.
Menurutku kegagalan
adalah ketika kita tidak merasa percaya diri, quotes yang tumbuh dari status
akun sosial mediaku tersebut kini menjadi sebuah motivasi tersendiri dalam
langkahku berorganisasi. Organisasi sangat penting, bukan?? kita akan belajar
managemen, administrasi, dan kepemimpinan dari sebuah organisasi, dan tentu
saja itu akan sangat bermanfaat untuk bekal terjun di masyarakat. Setiap
kesempatan mulai aku ambil dari hanya sekedar membawakan sebuah acara, memandu
jalannya seminar, menjadi panitia lomba, dan lain-lain. Organisasi sangat
penting bagiku sebagai tempat belajar kehidupan meskipun dalam skala
prioritasku bukanlah passion yang pertama.
Sudan adalah guru
terbaik untuk melatih kesabaran dan keikhlasan, didukung dengan lingkungan, dan
komunitas-komunitas yang baik, Aku yakin suatu hari aku akan bisa memenuhi
semua janjiku pada Ibu, membawa nama baik dan berjuang demi Islam &
Nusantara yang hidup dan bernafas dalam jiwaku.