Rabu, 26 Juli 2017

Perjalanan Menuju Negeri Seribu Darwis (Sebuah Autobiografi)



Perjalanan Menuju Negeri Seribu Darwis
Oleh; Ainur Rohmah Haryono
Belakangan nama Sudan mulai dikenal kalangan pesantren dan akademis, mengingat Republic of Sudan adalah salah satu destinasi pendidikan di kawasan timur tengah. Sudan merupakan negara yang unik karena adanya dua kebudayaan besar yaitu arab dan afrika, terletak di timur laut benua Afrika, dengan jumlah populasi 42 juta jiwa dan 85% di antaranya beragama Islam.
Merantau ke negeri seribu darwis adalah impianku sejak lama, tapi mengapa negeri Sudan disebut negeri seribu darwis? Darwis adalah istilah lain dari zahid, faqir, dan shufi. Pemahaman agama masyarakat sudan bisa dikatakan sangat mendalam, kesadaran terhadap nilai islam juga tidak kalah mengakar di kalangan masyarakat awam, hal tersebut terbukti dari banyaknya tempat-tempat sholat dadakan ketika adzan berkumandang, seperti gang-gang di pasar, terminal, dan lain-lain.
Awalnya aku hanya bermimpi bisa belajar ke salah satu negeri timur tengah, hal tersebut dipengaruhi oleh kakak-kakak senior di sekolah yang melanjutkan studi ke Mesir, Maroko, Sudan, Lebanon, Tunis, dan Yaman. Dan semenjak aku duduk di bangku kelas 3 Aliyah Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM), Kajen - Pati aku mulai menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan pendidikan s1 di negera terpanas se-Afrika. Sudan. Akhirnya aku lulus tanpa syarat pada tahun 2014 dengan hasil yang lumayan, nilai rata-rata 7,9, testing baca qur’an 10, testing baca kitab sedikit terancam remidi 6,5, daurah bahasa arab mumtaz, dan karya tulis arab jayyid jiddan. Itulah syarat-syarat kelulusan di sekolahku yang harus dipenuhi. Karena aku sudah berniat sejak awal ingin belajar ke Sudan maka aku mulai mengambil langkah-langkah strategis untuk mencapainya.
Pertama, aku mulai mendekati hati orang tuaku untuk mencuri restu. Ibuku adalah seorang penjahit di pasar dan ayahku seorang petani, bertani adalah pekerjaan mayoritas masyarakat Demak. Iya, aku lahir dan tumbuh di kecamatan karang tengah, kabupaten Demak. Demak adalah daerah penghasil beras terbesar di jawa tengah dan jawa tengah adalah lumbung padi Indonesia. Jadi, aku sangat bangga dengan pekerjaan ayah yang sangat mulia. Mula- mula ibu dan ayah agak ragu dengan niat tulusku, tentu saja. Aku anak terakhir dalam keluarga, selama ini aku selalu bergantung pada kasih sayang orang tuaku dan perhatian mbak, dan mas-masku. Sedikit demi sedikit aku meyakinkan mereka, aku mulai berdiplomasi menyampaikan tujuan-tujuanku “Bu’e, nanti kalau Ain jadi belajar ke sudan, Ain bisa belajar mandiri, bisa latihan hidup lebih tangguh, lho kan kata Bu’e, ragile* bu’e ini calon pemimpin bangsa to? Insyaallah nanti Ain akan pulang dengan ilmu yang berkah atas doa keluarga dan para guru, dengan pengalaman yang banyak, dan keterampilan yang tinggi, Insyaallah bu’.. kulo teseh istiqomah gadah angen-angen mbangun masyarakat**”.
Yang aku butuhkan pertama adalah restu dan doa orang tuaku, setelah mendapatkannya aku mulai langkah kedua dengan mendaftarkan diri melalui Lanjnah Qabul wa tarsyikh di madrasah agar terdaftar sebagai calon mahasiswa timur tengah tahun 2015. Di madrasah kami kelulusan adalah bulan sya’ban dan tahun ajaran baru adalah bulan syawal jadi sangat terlambat untuk mendaftarkan diri di tahun yang sama dengan ijazahku. Dan aku sangat mensyukuri waktu satu tahunku di kampung halaman. Aku bisa membantu ibu di pasar, sementara ibu menjahit aku menalayani pelanggan yang membeli benang, kancing, dan peralatan menjahit lainnya. Aku juga diminta ayah untuk membantunya di sawah untuk menjemur gabah  saat musim padi dan menanam semangka saat musim palawija. Pengurus madrasah di desa juga meminta waktuku untuk mengajar anak-anak Madrasah Diniyah pelajaran fashalatan, aku ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan madin seperti perayaan hari besar, pengajian umum, perlombaan, dll. Aku jadi lebih dekat dengan masyarakatku yang sebelumnya aku tinggal mondok di Kajen-Pati selama 8 tahun.
Hingga tibalah saatnya panggilan dari guru PIM untuk menyiapkan diri berangkat ke Sudan. pelepasan di sekolah digelar, tradisi sowan-sowan ala pesantren juga aku lakukan demi mendapat do’a dan ridho dari para sesepuh dan guru-guru PIM. Aku mulai mengunjungi rumah saudara ayah dan ibu, guru ngajiku waktu kecil, dan guru-guru SD yang sebagian besar sudah pensiun untuk meminta doa dan berpamitan. Meskipun biaya pendidikan dan tempat tinggal gratis tapi kami butuh ongkos yang tidak sedikit untuk transportasi dan pengurusan beasiswa, Ayah menjual gabah kering hingga berkwintal-kwintal untuk membiayai ongkosku berangkat ke Sudan.
Tes masuk Universitas tidak sesulit yang dibayangkan, semua yang ditanyakan sudah diajarkan di madrasah dan pesantren, Akhirnya aku masuk Fakultas Studi Islam di Universitas International Afrika, Khartoum. Tanpa harus masuk ma’had lughoh untuk belajar bahasa arab fusha.
Ada yang mengatakan “kalau kamu bisa hidup di sudan, maka kamu akan bisa hidup di mana saja”, perkataan itu aku dengar sebelum keberangkatanku ke Sudan pada tanggal 29 Agustus 2015, dan kini terhitung hampir 8 bulan aku berdomisili di Sudan. Tidak tanpa alasan perkataan itu dilontarkan oleh para senior mahasiswa Sudan, terbukti asam manis pahit kehidupan aku rasakan dan ambil pelajaran darinya. Salah satu contohnya adalah fakta iklim sudan yang ekstrim, di musim panas aku pernah merasakan hingga 50 derajat celcius,dan di musim dingin mencapai 7 derajat celcius. Tentu jauh berbeda dari iklim Indonesia, bukan?? Meskipun tidak sedingin musim dingin di benua Eropa, akan tetapi musim dingin di Sudan tidaklah begitu menyenangkan, tanya kenapa? Karena dinginnya di sini bercampur dengan debu-debu dan terik mentari yang bisa membuat kulit kering, pecah-pecah, dan kusam. Di situlah kita bisa belajar lebih sabar dan ikhlas untuk tetap bangun pagi dan pergi kuliah di segala kondisi.
Seperti janjiku pada ibu bahwa aku akan pulang demi masa depan gemilang, menghilangkan kebodohan diri sendiri,  keluarga dan masyarakat  tentu saja. Ujian semester pertama bulan Januari lalu alhamdulillah aku lalui tanpa hambatan, natijah yang ditunggu-tunggu keluar tidak terlalu mengecewakan, predikat jayyid jiddan aku dapatkan dengan penuh rasa syukur meskipun bukan yang terbaik di kelas Dirosat Islamiyah dan juga bukan yang terbaik di antara teman-teman Indonesia tahun pertama. Ini adalah titik awal untuk berlari lebih cepat, berusaha lebih giat, dan tetap semangat.
Menurutku kegagalan adalah ketika kita tidak merasa percaya diri, quotes yang tumbuh dari status akun sosial mediaku tersebut kini menjadi sebuah motivasi tersendiri dalam langkahku berorganisasi. Organisasi sangat penting, bukan?? kita akan belajar managemen, administrasi, dan kepemimpinan dari sebuah organisasi, dan tentu saja itu akan sangat bermanfaat untuk bekal terjun di masyarakat. Setiap kesempatan mulai aku ambil dari hanya sekedar membawakan sebuah acara, memandu jalannya seminar, menjadi panitia lomba, dan lain-lain. Organisasi sangat penting bagiku sebagai tempat belajar kehidupan meskipun dalam skala prioritasku bukanlah passion yang pertama. 
Sudan adalah guru terbaik untuk melatih kesabaran dan keikhlasan, didukung dengan lingkungan, dan komunitas-komunitas yang baik, Aku yakin suatu hari aku akan bisa memenuhi semua janjiku pada Ibu, membawa nama baik dan berjuang demi Islam & Nusantara yang hidup dan bernafas dalam jiwaku.







Minggu, 08 Desember 2013

Sahabat,Selamanya di jiwaku !




Sahabatku tercinta (Nafi’-Ula-Ain => NAULA)
Karya ; Ain Rohmah Haryono

Aku bukanlah seorang puitis
Tak juga seorang jurnalis
Tapi semoga catatan ini dapat mewakili
Semua rasa haruku ..
Kepadamu …
Sahabatku tercinta
Kita selalu saling melengkapi
Itulah yang aku rasakan,
Perbedaan seakan menjadi keindahan
Kau tau,bahkan dengan semangatku sehari-hari
Seolah tak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaan ini
Aku sungguh beruntung tak terkira
Jika tanpa kalian, Jiwaku bagai lepas dari raga
Aku tak mampu melangkah ..
Aku sungguh rapuh
Tapi tidak dengan hadirmu
Yang Menemaniku melewati hari-hari perjuangan
Mengubah air mataku menjadi senyum ketegaran
Meniupkan hawa kedamaian ..
Menerimaku dengan  segala kekurangan
 Meski terkadang prasangka buruk menjauhkanku
Namun tak pernah amarah itubenar2 membeku.
Atas nama persahabatan kita ,Naula ..
Aku tak ingin tahu,
Telah seberapa lama kita bersama
Karena bagiku, kita untuk selamanya ..


Terimakasih ..
Nafi’ Zahrotul Laili
Siti Chaulatul Aimmah


 Catatan ; ditulis saat acara pelepasan di sekolah yang akan memberangkatkan alumni yang berminat melanjutkan study di luar negeri . dan salah satu dari mereka adalah Nafi' sahabat terbaikku sepanjang masa :)